International Humanities -Menurut data PBB menunjukkan tren pernikahan anak dan perdagangan manusia di kamp pengungsi Rohingya, Bangladesh mengami peningkatan setiap harinya.

Bangladesh mengurangi aktivitas bagi kaum muda di kamp-kamp pengungsian semenjak April dan fokus pada pelayanan kesehatan dan penyediaan makanan sebagai upaya mencegah penyebaran virus COVID-19. Selain itu, aktivitas relawan pun juga dibatasi.

Hal-hal tersebut mengakibatkan banyak pelayanan untuk anak-anak terhenti dan membuat mereka semakin sulit mendapat bantuan.

“Sebelum COVID-19 melanda ada aktivitas kemanusiaan yang lebih besar. Anak-anak dapat berbicara dengan fasilitator dan berbagi keresahan mereka dengan teman-teman. Pelayanan tersebut sekarang tidak tersedia” kata Kristen Hayes selakj koordinator sektor Perlindungan Anak yang bekerja di bawah naungan PBB.

“Perkawinan anak meningkat karena tidak adanya tindakan pencegahan yang disiapkan untuk kasus perdagangan manusia.“

Sehingga Anak-anak yang menjadi korban dari semuanya.

Berdasarkan data PBB, dari sekitar 700.000 pengungsi Rohingya yang tiba di Bangladesh tahun 2017, lebih dari setengahnya merupakan anak-anak. Mereka melakukan eksodus massal dari Myanmar.

Lebih dari 350 kasus perdagangan manusia Rohingya tahun lalu, di mana sekitar 15% melibatkan anak-anak.

Bahkan hampir 300 pengungsi Rohingya dilaporkan tiba di Pantai Ujong Blang, Aceh setelah enam bulan terombang-ambing di atas laut.

“Tidak seorang pun dapat mengharapkan adanya layanan normal selama COVID,” kata Mahbub Alam Talukder, Komisioner Bantuan dan Pemulangan Pengungsi tentang penjelasan pengurangan layanan.

“Layanan kesehatan yang ada sudah sangat membantu kami mengendalikan virus dan menekan angka kematian. Kondisinya saat ini baik. Sekarang kami akan melanjutkan aktivitas normal, dengan protokol kesehatan. ”

Studi ini memicu sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat menyerukan akses yang lebih besar terkait perlindungan anak di kamp-kamp pengungsian.

Bangladesh Rural Advancement Committee (BRAC), sebuah LSM Bangladesh yang beroperasi di kamp, ​​menyatakan bahwa mereka menemukan banyak kasus pernikahan di bawah umur, kekerasan terhadap anak, dan KDRT.

Untuk saat ini mereka sedang mencoba mengatasi masalah ini melalui konseling online perorangan dengan relawan kami,” juru bicara BRAC, Hasina Akhter menjelaskan.

Banyak anak perempuan disana yang mengalami pelecehan seksual.